Olahraga 360 – Bagi tuan rumah, malam itu terasa seperti mimpi buruk yang datang terlambat. Pertandingan Sanfrecce vs Vissel di Edion Peace Wing Hiroshima berjalan seimbang, ketat, lalu pecah di menit–menit akhir: Vissel Kobe menang 0-1 setelah bola liar yang coba disapu justru memantul dan masuk ke gawang sendiri pada menit 87’ (tercatat sebagai gol bunuh diri Kim Ju-sung). Bukan karena Sanfrecce tak berusaha; justru sepanjang laga mereka mengimbangi intensitas lawan. Namun, detail kecil—posisi badan, sudut sapuan, dan tekanan beruntun—menjadi pemisah tipis yang merenggut satu poin di kandang.
Statistik kunci menegaskan narasinya. Jumlah tembakan imbang 14–14, tapi tembakan tepat sasaran 2–5 untuk tim tamu dan penguasaan bola 45%–55% mengarah ke Kobe. Tujuh sepak pojok untuk Vissel (bandingkan Sanfrecce tiga) menandakan bagaimana tim tamu lebih sering memaksa situasi berbahaya di sepertiga akhir. Maka ketika Sanfrecce vs Vissel memasuki 10 menit terakhir, tekanan kumulatif itulah yang menuntaskan cerita.
90 Menit yang Ketat: Detail Laga Sanfrecce vs Vissel
Rangka awalnya sudah menarik. Sanfrecce mengusung 3-4-2-1 dengan Keisuke Osako di bawah mistar, trio Shiotani–Araki–Sasaki di belakang, empat gelandang kerja keras (di antaranya Hayao Kawabe dan Shunki Higashi), serta Ryo Germain sebagai ujung tombak. Kobe membalas dengan 4-2-3-1: Daiya Maekawa; bek kanan Gotoku Sakai memimpin sirkulasi dari sisi kanan, Yuta Ideguchi menjaga poros, sementara Yuya Osako menjadi jangkar serangan di depan.
Sanfrecce berupaya mematahkan penguasaan Kobe lewat pressing menengah: blok 5 orang di area tengah, lalu transisi cepat ke sayap. Vissel tetap sabar. Mereka tidak terburu-buru menekan, melainkan melakukan recycling lewat pivot untuk memaksa tuan rumah bergeser horizontal. Pola ini menjelaskan kenapa Sanfrecce vs Vissel terlihat seperti duel sabar: menunggu siapa lebih dulu salah langkah, bukan siapa lebih berani menumpuk pemain depan.
Babak kedua membuka bab baru. Kejadian paling bikin jantung berhenti terjadi di menit 57’—Sho Sasaki sempat diganjar kartu merah, sebelum VAR membatalkan keputusan. Stadion bergemuruh. Momentum seolah condong ke Sanfrecce, tetapi Kobe membaca situasi dengan matang: mereka tidak terpancing menaikkan tempo secara liar, justru menata ulang serangan lewat sirkulasi tenang, sambil menyiapkan tenaga baru dari bangku cadangan.
Titik Balik: VAR, Pergantian, dan Gol Bunuh Diri
Pergantian jadi garis pembeda. Sanfrecce memasukkan Kim Ju-sung (58’) untuk merapikan struktur bertahan dan Kosuke Kinoshita (59’) sebagai penekan lini depan. Di kubu Kobe, Yoshinori Muto (65’) menghadirkan ancaman diagonal antarlini; Takihiro Ogihara dan Jean Patric (73’) menambah kontrol serta tusukan. Dengan kombinasi itu, pola serangan Kobe berubah: crossing tak lagi terburu, tetapi di-delay setengah ketukan untuk menarik bek keluar posisi.
Hingga menit 80, kita menyaksikan Sanfrecce vs Vissel seperti game catur: ancaman datang dari sisi kiri Kobe ketika Koya Yuruki (sejak awal) dan kemudian Muto bergantian menusuk half-space. Tepat pada fase konsentrasi mulai turun, sebuah bola kirim silang yang tampak rutin membuat barisan belakang Sanfrecce salah koordinasi. Upaya sapuan mengenai rekan sendiri, memantul, dan gol bunuh diri 87’ pun tercipta. Tragis, tapi begitulah sepak bola di level tinggi: satu sentuhan kecil bisa mengubah klasemen.
Wajib Tahu:
-
Tembakan: 14–14; On Target: 2–5 untuk Kobe.
-
Penguasaan: 45%–55% untuk Kobe.
-
Sepak pojok: 3 (Sanfrecce) vs 7 (Vissel).
-
Kartu merah yang dibatalkan VAR untuk Sho Sasaki menjadi salah satu momen paling krusial dalam laga.
Klasemen, Tren, dan Implikasi Taktis
Dampaknya langsung terasa di tabel. Kemenangan tandang ini menjaga Vissel Kobe di papan atas dan menempel ketat pemuncak; tiga angka dari laga berat seperti Sanfrecce vs Vissel bernilai ganda: menaikkan poin dan moral ruang ganti. Untuk Sanfrecce Hiroshima, kekalahan tipis di kandang membuat perebutan zona Liga Champions Asia semakin menuntut konsistensi—terutama karena lawan-lawannya di sekeliling klasemen tengah juga memetik poin.
Jika dilihat dari tren, Kobe memperlihatkan kematangan manajemen momen: mereka tidak panik saat VAR membatalkan kartu merah lawan, tidak ikut-ikutan mempercepat tempo, dan fokus menumpuk peluang low-risk, high-reward dari sisi lapangan. Sanfrecce, sebaliknya, punya PR pada 10 menit terakhir—periode yang sering menjadi wilayah “kehilangan” poin pada pertandingan besar. Dalam laga seimbang seperti Sanfrecce vs Vissel, detail akhir—rest defense setelah umpan silang atau komunikasi saat menyapu bola—tidak boleh goyah.
Apa Bekal untuk Laga Berikutnya
Bagi Sanfrecce:
-
Penyelesaian akhir. Jumlah tembakan sama, tapi kualitasnya timpang. Kebutuhan akan variasi akhir (cut-back pendek, umpan datar ke titik penalti) jadi prioritas.
-
Manajemen energi. Setelah menit 75, pressing cenderung melonggar. Ini undangan terbuka bagi lawan untuk mengirimkan umpan silang kedua.
-
Keputusan pergantian. Menit masuknya penyerang segar seperti Mutsuki Kato dan Yotaro Nakajima mungkin perlu dimajukan agar punya cukup waktu mengubah ritme.
Bagi Vissel:
-
Efisiensi sayap. Kombinasi Yuruki–Muto–Jean Patric memberikan template menyerang yang patut dipertahankan untuk laga tandang.
-
Kontrol ritme. Ogihara menstabilkan sirkulasi saat tensi tinggi—opsi ini harus tetap tersedia versus lawan padat lini tengah.
-
Rotasi aman. Dengan Sanfrecce vs Vissel berhasil dimenangkan tanpa harus memaksa tempo, Kobe bisa merencanakan rotasi cerdas agar puncak kondisi terjaga di bulan-bulan krusial.
Pada akhirnya, Sanfrecce vs Vissel memberi pelajaran sederhana namun keras: di liga yang rapat seperti J1, kesabaran dan detil adalah mata uang. Kobe membayar dengan keduanya—dan pulang membawa tiga poin.
Sumber: ESPN